Senin, 14 November 2011

KAJANG AMMATOA (DESA TANATOA, KECAMATAN KAJANG, KABUPATEN BULUKUMBA SULAWESI SELATAN)


BENTANG BUDAYA
1.      Jenis - Jenis dan Sejarah Kebudayaan (Adat Istiadat)
Komunitas adat Ammatoa memiliki hirarki structural dalam mengatur  tata kelola acara adat maupun system pemerintahan. Komunitas adat percaya bahwa Ammatoa merupakan wakil dari Bohe Amma atau Tu’re’a’ra’na (Yang Satu atau Tuhan) di dunia. Manusia pertama dalam adat Ammatoa juga diyakini berasal dari Tana Toa. Konon kabarnya, sewaktu beliau masih hidup selalu dilindungi oleh awan apabila berjalan di bawah terik matahari dan beliau selalu terlihat awet muda. Sedangkan sewaktu sepeninggalnya, beliau tidak dikuburkan karena beliau lenyap.
Ammatoa pengatur dan penentu kebijakan adat maupun pemerintahan, sebab mereka percaya bahwa Tana Toa adalah tanah tertua yang menjadi awal dari keberadaan dunia. Mitos kajang menyebutkan bahwa awalnya di dunia ini hanya ada satu daratan yang mereka namakan Tombolo. Tanah ini kemudian mengefeki munculnya daratan lain yang membentuk dunia. (*Aswan, S.Pd).
Masyarakat adat Ammatoa juga meyakini bahwa awal kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan berasal dari Tana Toa. Berdasarkan pembagian territorial, orang-orang kajang yang keluar dari kawasan adatdan memimpin suatu wilayang masing-masing. Teritorialisasi dan kepercayaan akan pengaruh Ammatoa terhadap eksistensi tersebut lantas dituangkan dalam suatu sebutan : Ammatoa ri Kajang, sombayya ri Gowa, Pajung ri Luwu, Mangkawu ri Bone. Ammatoa merupakan representasi pemimpin tertinggi dari segi spiritualitas dan pemerintahan dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada tersebut.
Pola perilaku masyarakat dan masuknya artefak materil maupun subtil dalam kawasan adat Ammatoa tentunya bertentangan dengan pola hidup Kamase-mase yang dianut dan dijadikan rujukan dalam menentukan tindakan hidup masyarakat adat Kajang. Walaupun masih banyak masyarakat adat Kajang yang memegang teguh pendirian kajang, namun pengaruh modernitas terlalu sulit untuk dikalahkan oleh spiritualitas local dalam kosmologi Kajang. Kamase- mase adalah representasi idielogis dari kesadaran masyarakat adat untuk senantiasa hidup bersahaja.
Adapun artefak modern dalam lingkungan keluarga masih sebagian kecil dari hasil negosiasi kebudayaan antara adat lokal Kajang dan modernitas. Pengaruh modernitas akan semakin kental sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Kamase - masea secara ideal dalam kosmologi Kajang adalah keniscayaan sebagaiman diutaraka Puto Palasa selaku pimpinan komunitas adat. Bahkan jika ada masyarakat yang tidak ingin patuh pada aturan tersebut dipersilahkan untuk keluar dari kawasan adat. Sebab hanya manusia dengan prinsip Tu Kamase - masea pada pemikiran dan tindakannyalah yang dapat memasuki dan menetap dalam kawasan adat.
Ammatoa selaku pemimpin adat serta beberapa pemangku adat lainnya juga mengakui mengenai fenomena pergeseran pelaksanaan aturan adat yang telah dianut selama berates-ratus tahun. Pada suatu sesi Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan peneliti dengan Ammatoa dan beberapa pemangku adat di dusun Pangi memunculkan suatu fakta bahwa ada ambivalensi argumentasi antara petinggi adat dengan fakta lapangan yang ditemukan. Petinggi adat di satu sisi tetap bersikukuh bahwa aturan adat masih dijalankan masyarakat Ammatoa, tetapi fakta lapangan menunjukkan bahwa aturan adat utamanya persoalan pakaian mulai diabaikan.
Adat adalah suatu yang dikenal, diketahui, serta menjadi kebiasaan dalam masyarakat berupa kata-kata atau macam - macam. Jadi adat dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah menjadi kebiasaan terus menerus berlaku dalam masyarakat dan menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya. Sekelompok ahli menyatakan bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan system pengetahuan yang menjadi landasan, pedoman atau acuan terwujudnya perilaku manusia. Budaya dapat diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat dan lingkungan hidup manusia.
Yang menjadi landasan atau pedoman masyarakat Desa Tana Toa sehingga tercipta perilaku yang baik adalah Kitta’ (Kitab) dan Pasang (Pesan). Distorsi terhadap aktualisasi aturan adat tidak lepas dari semakin kompleksnya dinamika hukum yang menelikung kedalam norma - norma adat. Padahal Pasang sebagai abstraksi sebagai konsep kosmologi yang dianggap ideal dan dimistifikasi oleh komunitas Ammatoa memiliki posisi yang lebih tingi disbanding aturan hokum tertulis. Pasang Kajang tidak dituliskan, melainkan dihafalkan atau dilisankan dan dipahami sebagai bentuk transendesi nirmateril yang hakiki oleh komunitas adat Ammatoa. Pasang melahirkan aturan normatif yang setelah diturunkan menjadi Lontara’ atau Sure’ yang dituliskan. Baik Lontara maupun  Sure’ telah ditransformasi menjadi norma hukum yang kadarnya lebih rendah dari Pasang. Untuk konteks sekarang, aturan normatif sebagaimana dituliskan dalam Lontara’ sepadan posisinya dengan undang-undang. Dengan demikin secara logika, Pasang sebenarnnya berposisi lebih tinggi dalam aturan adat.
Mengenai soal pemilihan warna dalam adat Ammatoa, terdapat beberapa klasifikasi. Warna hitam dimaknai sebagai warna paling tua dan menyimbolkan perilaku Kamase-mase. Bagi manusia Kajang, hitam merupakan sublimasi transendental yang merepresentasikan keidealan dan kesederhanaan. Simbolisasi sarung dengan kombinasi celana pendek berwarna putih pakaian hitam serta Passapu (penutup kepala) merupakan pakaian adat yang dimistifikasi dalam kawasan adat. Adat kajang juga membagi warna berdasarkan territorial kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan, yakni : warna putih untuk kerajaan Gowa, merah untuk kerajaan Bone, hijau untuk kerajaan Luwu dan biru untuk kerajaan Wajo.
Bagi sebagian besar pemuda dalam masyarakat adat Ammatoa, kamese - masea hanya merupakan aturan adat yang diperintahkan Ammatoa sebagai pemimpin spiritual. Lantaran sudah menjadi aruran maka setiap masyarakat wajib untuk menjalankan. Namun jika ditelusuri lebih jauh pada persoalan substansi kamase - masea sehingga menjadi aturan tidak dipahami. Interpretasi atas kamase - masea hanya seputar anatomi materilnya, dipahami sebagai normatifitas yang bila dilangar akan dikenai hukuman. Padahal prinsip kamase - masea mengatur segala totalitas pola hidup disamping pemahaman patuntung yang mengatur norma spiritualitas. Persoalan tersebut lebih disebabkan transformasi ilmu kepada pemuda yang kurang maksimal, disamping aktivitas mereka yang harus keluar masuk kawasan adat untuk mencari nafkah. Bahkan, pemuda sendirilah yang membuat arus modernitas menjadi intens masuk ke kawasan adat Ammatoa dengan membawa berbagai perangkat dari luar kawasan. Hal ini diakui pemuka adat Ammatoa, Galla Puto (saat ini dijabat Bapak Amir Bolong yang tingal di Dusun Sobbu) membenarkan argument - argumen serupa yang diutarakan responden dari masyarakat serta kepala Dusun Pangi.
Integrasi ilmu berupa Pasang Kajang pada kaum muda menjadi persoalan tersendiri yang cukup mempengaruhi eksistensi adat Kajang di masa mendatang. Pasang telah dianggap sebagai elemen dasar (basic elementer) yang membentuk adat Ammatoa. Disamping persoalan iti juga terdapat persoalan transformasi ilmu bagi kaum perempuan dalam hal menenun sarung. Kerajinan menenun sarung Kajang sudah semakin melemah dan mendekati kepunahan. Kebiasaan menenun sudah menjadi cirri khas perempuan dalam adat Ammatoa yang menandai kedewasaan dan kesiapan dalam kehidupan berkeluarga. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat yang masih menenun adalah generasi tua dan mereka yang sudah berkeluarga dengan kisaran umur antara 30 tahun ke atas. Bahkan sejumlah masyarakat menegaskan bahwa kerajinan menenun hanya dilakukan oleh sejumlah kecil sejawatnya. Persoalan tersebut lebih disebabkan oleh semakin banyak perempuan yang menempuh pendidikan formal dan mengabaikan alat tenunan.
Idealnya,dalam kacamata adat Kajang bahwa kaum perempuan mesti mengetahui cara menenun sarung dan kaum lelaki mesti mengetahui cara bercocok tanam untuk menandai bahwa mereka telah dewasa dan siap untuk menjalankan kehidupan secara mandiri. Dengan kata lain, seorang perempuan Kajang baru dapat dikatakan dewasa ketika mampu menenun. Aktifitas tersebut merupakan salah satu tanda kamase - masea yang dijadikan prinsip bagi masyarakat Kajang. Namun sekarang, manuia Kajang bahkan dapat membeli pakaian atau sarung hitam secara instan di pasar-pasar tradisional di Desa Tana Toa atau yang bersebelahan dengan desa tersebut.
Beberapa poin persoalan sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa aktualisasi prinsip kamase - masea manusia Kajang telah bernegosiasi dengan tawaran-tawaran modernitas. Disadari atau tidak, manuia Kajang telah mulai meninggalkan resolusi transcendental pasang. Kesederhanaan dan hidup bersahaja (kamase - masea) merupakan konsepsi dan prinsip hidup yang penting jika dipahami secara subtansif. Ajaran adat Kajang mengajarkan melalui prinsip kamase - mase tentang kesederhanaan dan keseimbangan. Alasan utama mereka menolak modernisasi karena dapat merusak keseimbangan alam yang menjadi tumpuan utama manisia di dunia.
Bagi masyarakat Kajang, alam adalah entitas penting yang membuat dunia tetap seimbang. Untuk menjaga keseimbangan alam, maka perlu untuk membatasi diri dalam memenuhi kebutuhan dari alam. Selain untuk hidup, alam juga dihormati sebagaisublimasi yang menjaga manusia Kajang dari segala bentuk ancaman ghaib. Kamase - masea mengajarkan manusia Kajang untuk hidup seadanya dan bertindak seperlunya. Kemiskinan di dunia bagi mereka akan mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat kelak. Alam perlu dijaga agar tetap menjaga keseimbangan kosmos bumi. Modernitas bagi manusia Kajang hanya akan mendatangkan bencana dan musibah bagi umat manusia.
Persoalan pemahaman adat pada diri individu - individu dalam komunitas yang sudah bernegosiasi dengan modernitas tentunya menjadi tantangan bagi eksistensi dan keberlangsungan pola hidup Kamase - masea adat Kajang. Satu - satunya artefak utama yang belum masuk dan jika kehadirannya mulai Nampak dalam komunitas adat maka akan menghancurkan seluruh tatanan adat Ammatoa adalah listrik. Jika listrik sudah masuk ke dalam dusun adat, bersamaan dengan kehadirannya prinsip Kamase - masea yang dimiliki kebudayaan Ammatoa hanya akan menyisahkan catatan antropologis.
Persoalan kedua yang menjadi titik negosiasi kebudayaan adat Kajang adalah relasi social yang berimplikasi pada perilaku politik masyarakat Kajang. Implikasi dari perkembangan model relasi sosial politik modernitas adalah dualisme kepemimpinan Amaatoa. Persoalan ini ambivalen dengan konsepsi Tu Kamase - masea yang mengedepankan keharmonisan, kesederhanaan dan kehidupan yang selaras. Namun dualism kepemimpinan yang menimpa komunitas adat Ammatoa telah menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Hal ini merupakan implikasi dari pemilihan Ammatoa yang menyisahkan permasalahan besar. Di satu sisi sebagian masyarakat mengakui Puto Palasa sebagai Ammatoa, sementara di sisi lain sebagian di antaranya mengakui Puto Bekkong sebagai Ammatoanya. Dan setelah mengalami konfrontasi panjang serta upaya rekonsiliasi yang diwadahi langsung pemerintah Kabupaten Bulukumba, diputuskan secara hukum bahwa Puto Palasa adalah Ammatoa yang sah. Meskipun demikian bukan berarti permasalahan selesai dengan rekonsiliasi yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten tersebut. Jusrtru permasalahannya semakin kompleks karena masyarakat yang mengakui Puto bekkong sebagai Ammatoa tetap bersikukuh pada pendiriannya. Pada akhirnya perpecahan tetap terjadi dan persoalan otoritas dikembalikan kepada maing - masing individu.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa persoalan dualism tersebut berefek pada disharmonisasi relasi antar masyarakat dalam kawasan adat. Amanah Pasang yang disebutkan untuk senantiasa hidup berdampingan, bergotong royong dan saling membantu tampak terabaikan dengan dualime Ammatoa tersebut. Prinsip Kamase - masea yang menegaskan dan mengharuskan komunitas adat untuk mengedepankan kesederhanaan maupun kepentingan komunitas adat demi menjalankan aturan adat menemui titik - titik kontradiksi.
Di dalam kehidupan beradat, seringkali terjadi kesalah pahaman di antara warga adat itu sendiri. Untuk mengadili orang yang bersalah, maka dilakukan ritual-ritual berupa bakar Passau. Dengan jampi-jampi Ammatoa menyerahkan segala sesuatunya kepada Turie’a A’ra’na (Tuhan yang mereka yakni/ Alah SWT) untuk mengadili orang tersebut. Apabila telah dilakukan pengadilan dan orang yang bersalah tidak memberikan pengakuan, maka orang tersebut akan menerima ganjaran berupa musibah kepadanya atau kepada keluarganya dalam waktu dekat.
Di kawasan adat Ammatoa, terdapat sebuah tanah adat yang berupa sawah yang sering disebut sawah adat atau tanah bengkok. Sawah adat ini diberikan kepada Ammatoa untuk dikelolah dan apabila Ammatoa berganti maka sawaha adat ini dipindahtangankan pula kepada Ammatoa yang baru. Sawah adat ini hanya dapat ditanami pada satu musim saja. Karena Ammatoa tidak memakan hasil panen di luar dari hasil panen musim yang ditentukan.
Kawasan adat Ammatoa harus dijaga karena kapan kawasan tersebut rusak, maka seluruh dunia akan rusak karena mereka meyakini bahwa kawasan adat tersebut merupakan Possi Tana (pusat bumi). Sedangkan pada kenyataannya, Possi Tana sendiri berada di luar kawasan adat Ammatoa. Possi Tana merupakan tempat pelantikan Ammatoa beserta jajarannya oleh Anrong. Dan Possi Tana merupakan kawasan adat yang keramat. Di sekitar tempat tersebut terdapat banyak sesajen yang merupakan bentuk permintaan warga di sana kepada Turie’a A’ra’na.
Lebih utama, bahwa modernitas yang selain merusak alam juga dapat merusak moral manusia Kajang. Modernitas bagi mereka hanya akan membuat manusia jauh dari norma - norma sosial, lepas dari kolektivitas dan mencabut akar manusia. Modernitas dipahami sebagai kemerosotan, sementara kekolotan yang dilakukan manusia Kajang adalah pilihan hidup yang menandai kemajuan spiritual. Akan tetapi kemampuan modernitas dengan semangat individualism serta berbagai kemudaha dalam mengakses berbagai kebutuhan hidup secara instan maupun menelikung jauh ke dalam entitas adat Kajang, komunitas Ammatoa.
Modernitas merupakan perangkat ideologis yang sulit ditolak oleh berbagai etnitas kebudayaan mistis manapun, termasuk adat Ammatoa Kajang. Walaupun manusia Kajang mencobamenghindarkan diri (akling) dari segala hegemonis modernitas, namun upaya yang dilakukan tetap mengalami hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan tersebut merupakan ancaman eksistensial bagi generasi muda yang tinggal di dalam komunitas adat. Hal ini lebih disebabkan pengaruh arus luar jyang didapatkan melalui berbagai variabel yang di antaranya pendidikan, persentuhan dengan masyarakat perbatasan desa, pendatang dan masyarakat adat yang bekerja di luar kawasan adat.
Peninggalan kebudayaan oleh para leluhur yang sangat mereka jaga dan kemudian mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah tangga berupa alat tenun (Pattannungang) dan alat pertanian tradisiaonal. Adapun kesenian tersebut antara lain :
a.       Tari Pa’bitte Passapu : untuk acara kegembiraan seperti acara pernikahan, penjemputan tamu, dll.
Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat, acara penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering ditampilkan di luar kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang mengundang para penari.
                        Komposisi Tari Pa’bitte yaitu sebagai berikut :
1.      Passisengang (perkenalan)
2.      Appasilele (pemanasan ayam aduan)
3.      Assahung (penyabung ayam) : mengasah taji lalu menyabung
4.      Appasicoco’ (mencocokkan pada ayam mana yang menang dan kalah)
5.      Sijallo (perkelahian antara dua kelompok penyabung)
6.      Sibotto’ (saling menikam)
7.      Sibajiki (berdamai)
Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka bernyanyi sambil menari. Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina dan pemimpin group tari.
Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan passapu yang masing-masing berwarna hitam.
b.      Seni Suara berupa nyanyian (Kelong) :
Kelong diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari Pa’bitte Passapu untuk acara kegembiraan.
c.       Seni Teater :
Menggambarkan sosok Ammatoa dan pendampingnya.
d.      Seni Drama :
Anggaru.
e.       Seni Musik :
Menggunakan alat berupa suling (Basing).
Kegiatan menenun dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum perempuan harus pandai membuat sarung hitam (Tope) dan Passapu yang digunakan sehari-hari. Alat pertanian yang menjadi peninggalan leluhur mereka yaitu bersifat tradisional, misalnya parang, cangkul, linggis dll. (*Dinas Parawisata dan Kebudayaan Pemkab. Bululkumba).
1.      Keadaan agama dan Bahasa.
a.       Agama
Agama yang dianut adalah “Sallang dalam dialek Konjo” yang artinya Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na (Allah SWT).
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na, yaitu :
1.      Leteanng Dalle’ : Titian rejeki.
2.      Bala Tannisanna - sanna : Bencana yang tak disangka-sangka.
3.      Sura’ Nikka : Surat nikah.
4.      Cappa’ Umuru : Ujung usia.
Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang “ Je’ne Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat dan melunturkan Wudhu”. Masjidnya berada di luar kawasan adat Ammatoa yang bertempat di dekat pintu gerbang kawasan adat tersebut. Masjid ditempatkan di luar kawasan adat karena mereka tidak ingin peradaban yang mereka miliki berbaur dengan peradaban yang lain eperti halnya manusia yang hidup di jaman modern pada umumnya. Demikian bentuk toleransi yang diberikan masyarakat adat Kajang dalam kawasan terhadap masyarakat luar kawasan, mesjid yang letaknya berada dekat pintu gergang kawasan Ammatoa lebih memudahkan masyarakat Kajang yang berada di dalam kawasan untuk beribadah. Adapun imam dalam kawasan adat yang disebut Kali yang juga sebagai perangkat tambahan dalam membantu tugas Ammatoa khusus dalam bidang keagamaan.
Bahkan sudah ada seorang warga kawasan adat Kajang Ammatoa yang telah menunaikan ibadah haji pada tahun 1990 pada saat A. Lolotonang menjadi Dirjen Haji di Jakarta yang diberikan secara gratis kepada Puto Jumali yang merupakan keluarga dari Ammatoa pada saat itu (*Galla Pantama).
-           Pernikahan
Masyarakat adat Kajang Ammatoa boleh menikah dengan sesama warga dalam kawasan adat maupun warga yang berada di luar kawasan adat tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Prosedur pernikahan masyarakat adat Kajang Ammatoa dimulai dengan acara lamaran oleh wali pihak laki - laki kepada pihak perempuan, hal itu dikarenakan dalam silsilah keluarga garis keturunan menganut sistem Patrilinear  yang mengikuti darah ayahnya. Dalam acara lamaran tersebut, wali perempuan menanyakan silsilah keturunan calon mempelai laki-laki kepada walinya.
Adapun mahar yang berikan berdasarkan sissilah keturunan yang mempunyai adat tersendiri yaitu : Sunrang Tallu (3 ekor kerbau), Sunrang Kati (4 ekor kerbau), Sunrang Lima (5 ekor kerbau) dan Sunrang Tuju (7 ekor kerbau). Dimana Sunrang tadi berarti mahar. Apabila mahar yang berupa Sunrang beberapa ekor kerbau, maka banyaknya uang telah terpahamkan oleh pihak laki-laki. Sedangkan mas kawin berupa Lima Tai’ (untuk keluarga keturunan pemangku adat) dan Empat Tai’ (untuk masyarakat biasa).
Setelah itu, maka ditentukanlah hari resepsi pernikahan. Rangkaian resepsi pernikahan selama 2 hari 2 malam dengan konsep yang berlandaskan adat istiadat dan budaya Kajang Ammatoa secara turun-temurun. Adapun baju adat yang digunakan pada saat pernikahan yaitu Baju Pokki’ (baju pendek). Setelah resepsi pernikahan dan akan nikah berlangsung, maka kedua mempelai sudah sah menjadi pasngan suami isteri. Hal yang paling penting untuk mereka jaga adalah “Harus mempertahankan Hak dan Keturunan”.
Mengenai kawin lari, kedua pihak diterima apabila telah memenuhi persyaratan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dengan tetap menjadikan adat istiadat sebagai pedoman. Prosesi pernikahan pun sama dengan pernikahan seperti yang diterangkan di atas yaitu dari lamaran hingga resepsi pernikahan dan akhirnya sah menjadi pasangan suami isteri.
Adapun simbol bahwa di suatu rumah telah diadakan acara pernikahan yaitu diikatkannya tanduk kerbau pada tiang dalam rumah mereka. Berapa pun jumlah tanduk yang diikat, sekian kali pula pada rumah tersebut telah diadakan pernikahan. (*Galla Pantama).

-                 Kematian
Apabila ada keluarga yang meninggal, maka salah seorang keluarga yang ditinggalkan melaporkan kepada Ammatoa atau kepada Ombo (isteri Ammatoa) apabila Ammatoa sedang tidak berada di rumah. Khusus kepada keluarga yang ditinggalkan tidak boleh menangisi kepergiannya. Adapun kuburannya bersifat tradisional dan menggunakan nisan yang terbuat dari kayu dengan cara dipahat. Setelah sepeninggalnya , keluarga yang ditinggalkan mengadakan acara :
1.        Mappilo (meratap apabila ada keluarga yang meninggal). Akan tetapi jenazah baru boleh ditangisi pada saat setelah dikuburkan.
2.        Pa’nganro (upacara keselamatan) dilaksanakan setelah tiga bulan meninggalnya.
3.        Asse’re-se’re/ A’dunga’ (berkumpul-kumpul) dilaksanakan selama 100 hari meninggalnya.
4.        A’dangang selama 2 hari 2 malam, dilaksanakan setelah mengadakan Asse’re-se’re/ A’dunga’.
5.        Andingingi yaitu tolak bala dengan meminta pertolongan kepada Turie’a’ra’na (dilaksanakan setelah A’dangang). Andingingi juga kerap kali dilakukan pada acara-acara syukuran setelah musim panen, apabila ada musibah atau wabah penyakit (*Galla Pantama.
Adapun teori Pasang adalah sebagai berikut :
1.    A’bulo Sibatang  
2.    A’lemo Sibatu
3.    Tallang Sipahua
4.    Manyu Siparampe
5.    Mate Siroko
6.    Bunting Sipabasa
7.    Amminahang ri Ajang
Dimana kesemuanya itu bermakna sama yaitu gotong royong dan saling tolong menolong.
Ajaran tallasa kamase-masea juga merupakan sebuah Pasang. Pasang untuk tidak mengunakan alas kaki. Pasang dalam artian ‘Sederhana’ dalam hal ini tidak menggunakan alas kaki, tidak menggunakan alat telekomunikasi, tinggal di kawasan adat yang tidak memiliki akses jalan dan listrik yang memadai, serta hidup dari alam. Sementara anatomi subtil dari pemahaman kamase-masea tidak dipahami secara maksimal. Pasang menjadi landasan atau pedoman masyarakat Desa Tana Toa sehingga tercipta perilaku yang baik adalah “Kitta’ (Kitab) dan Pasang (Pesan)” Kajang Ammatoa yang memegang prinsip Tallasa Kamase-masea berbasis Pasang yang menekankan tentang :
1.      Mengekang hawa nafsu
2.      Menaati aturan
3.      Jujur
4.      Tegas
5.      Sabar
6.      Merendahkan diri
7.      Tidak cinta materi
8.      Pasrah kepada Ilahi
Pasang yang paling dijaga oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa yaitu :
Parakai Lino A’rurung Bonena
Kammaya Tompa Langika
Siagang Rupa Taua
Siagang Boronga
Artinya :
Peliharalah bumi beserta isinya
Demikian pula langit
Demikian pula manusia
Demikian pula hutan

b.      Bahasa
Umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah berdialek Konjo. Karena sebagian besar dari kami tidak mengerti bahasa tersebut, maka kami agak sedikit susah di dalam menggali informasi, namun itu tidak menyusutkan semangat kami dalam hal pencarian informasi akan tetapi menjadi motifasi dalam pengkajian dan pencarian informasi selama di sana. Ada pun Galla Pantama dan anak dari  Ammatoa (Ramlah) yang tahu berbahasa Indonesia, jadi merekalah yang menerjemahkan apa yang disampaikan oleh Ammatoa.

2.      Kebiasaan Masyarakat
Masyarakat adat Ammatoa menganggap pakaian berwarna hitam dengan paduan celana pendek putih merupakan kewajiban dalam kawasan adat. Belum lagi jika masyarakat yang bersangkutan telah mengikuti acara Pa’nganro besar dalam hutan adat (Borong) maka yang bersangkutan sudah wajib menangalkan celana panjang dan menggantinya dengan Tope (sarung hitam), menggunakan Passapu (penutup kepala dari kain hitam yang menjulang ke atas), tanpa alas kaki dan menanggalkan segala perangkat modernitas dari jasad. Akan tetapi, dalam pengamatan peneliti, banyak di antara masyarakat dalam kawasan adat mulai meningalkannya. Bahkan sebagian kecil di antaranya kadang memakai pakaian berwarna terang semacam merah dan kuning dalam kawasan adat.
Masyarakat adat Ammatoa mempercayai bahwa Hitam berarti :
1.      Penyesuaian diri dengan lingkungan karena alam sekitar meliputi hutan, daerah yang lembab.
2.      Merupakan kepercayaan bahwa kita terlahir dari tempat yang tinggi, dari kegelapan dan penuh rahasia.
3.      Menggambarkan sikap rasa persamaan, senasib dan sepenanggungan.
4.      Melambangkan sikap kegotong - royongan.
5.      Melambangkan asli penduduk.
Perangkat-perangkat modernitas dalam bertuk perabot dan corak rumah tampak jelas pada beberapa dusun tersebut. Rumah batu sudah digunakan dalam beberapa dusun, utamanya di perbatasan yang menjadi pusat desa. Walaupun demikian, masih dapat ditemui rumah-rumah panggung khas adat Ammatoa, akan tetapi perangkat berupa listrik dan pengunaan perabotan modern lainnya menjadi alat penunjang kebutuhan sehari-hari.
Meskipun beberapa dusun masih merasa bertanggung jawab pada aturan adat dan ingin tetap menjalankan amanah Pasang, fakta lapangan yang ditemukan peneliti menunjukkan bahwa tuntutan modernitas yang menawarkan kemudahan-kemudahan instan tidak dapat dibendung oleh komitmen normative adat. Dusun Bongkina, Pangi dan Tombolo yang dikenal sangat kental akan aturan adat mulai bersentuhan dengan kemudahan yang ditawarkan modernitas tersebut. Bahkan di Dusun Bongkina masyarakat sudah menggunakan kendaraan bermotor untuk memudahkan akses terhadap berbagai kebutuhannya.
Persentuhan antara kawasan adat dan modernitas menjadi sangat intensif karena akses jalan yang awalnya hanya berupa jalan pengerasan yang dibuat secara manual telah berubah menjadi jalan aspal. Hal ini terlihat di Dusun Balagana dan Janaya serta perbatasan Desa Tana Toa dengan beberapa desa di Kecamatan Kajang. Akses jalan tersebut menjadi kebutuhan lumrah bagi masyarakat sekitar dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Selain mempercepat akses, kerusakan jalan pada musim penghujan bukan menjadi persoalan lagi di beberapa dusun tersebut.
Adapun dapur dan WC-nya yang terletak di depan pintu masuk rumah dimana semua perangkat dapur tadi juga diletakkan. Hal ini menggambarkan transparansi kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam kehidupan kesehariannya. WC yang kami maksud di sini adalah tempat untuk mencuci piring dan perlengkapan lain dan juga hanya untuk buang air kecil saja. Demikian juga tempat mandi yang hanya disekat oleh perangkat kayu dan bambu, yang dilengkapi dengan Gumbang (gentong/tempat air yang terbuat dari tanah liat). Airnya pun di angkat dari sumur yang terletak cukup jauh dari rumah mereka dengan cara Massohong (mengangkat air dengan menjujung Gumbang atau ember) dengan lihai.
Masyarakat Kajang tidak menggunakan sabun untuk mandi maupun untuk mencuci pakaian, hal itu karena mereka tidak ingin mencemari lingkungan sekitar dengan penggunaan sabun tadi. Mereka tidak ingin keadaan lingkungan yang asri jangan sampai terjamah oleh polusi.
Masyarakat adat Ammatoa yang paham kosmologinya menganjurkan untuk hidup berdampingan dan memanfaatkan bahan - bahan dari alam mulai bergeser untuk menggunakan perangkat modern. Hal yang paling menonjol adalah alat-alat rumah tangga, baik alat memasak, makan dan minum, hingga alat untuk mengolah tanah pertanian sudah mulai berubah. Perabot rumah tangga yang awalnya mengandalkan tempurung kelapa untuk alat makan dan minum, dapo’ (alat masak tradisional) dan bahan dari tanah liat lainnya sudah mulai ditinggalkan oleh mayoritas masyarakat dalam komunitas adat. Dapo’ ini detempatkan di luar dekat pintu masuk.
Pada awalnya mereka membuat sendiri alat - alat rumah tangga dalam lingkungan keluarga, namun sekarang perangkat dari plastik dan aluminium sudah akrab digunakan bahkan di rumah Ammatoa (Puto Palasa) sendiri. Kecuali dapo’ (dapur tradisional), perabot rumah tangga semacam cerek, panci, alat menggoreng, hingga piring, gelas, dan sendok sudah menjadi barang keperluan sehari-hari. Adapun perangkat - perangkat yang terbuat dari alam sebagaimana disebutkan sebelumnya hanya wajib digunakan saat acara adat saja, utamanya pada acara Pa’nganro (*Ramlah/ Anak dari Ammatoa Puto Palasa).
Sebagai akibat langsung dari keberadaan jalan beraspal tersebut, kawasan adat mulai disusutkan hingga perbatasan dusun Sobbu yang ditandai dengan pintu gerbang masuk ke kawasan Ammatoa. Di dalam kawasan, beberapa dusun masih tetap eksis dengan tetap menggunakan jalan tanah dan berbatu - batu. Sehingga, untuk menjangkau beberapa tempat atau dusun yang menjadi kawasan adat, wajib ditempuh dengan berjalan kaki. Dan mereka meyakini bahwa batu yang dijalani mengandung unsur kesehatan (*Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bulukumba).
3.      Kerifan Lokal
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, Pasang. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup? Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan melalui media - media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan - pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).
Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.
Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: “Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu” artinya (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: “Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada” artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat). Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:
1.      Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang  untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara - acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (Pammantanganna singkamma Tau Riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Talakullei nisambei kajua,
Iyato’ Minjo Kaju Timboa.
Talakullei Nitambai Nanikurangi Borong Karamaka.
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Artinya :
Tidak Bisa Diganti Kayunya,
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan

Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.

Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma Toa. Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang (mengambil udang), Tatta’ Uhe (mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar lebah). Ada dua jenis hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong Iraja. Dan hanya orang - orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut. Konon katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa yang memasuki hutan tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila pelakunya adalah warga adat Kajang Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai pelanggarannya. Bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat Kajang Ammatoa.
Dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat, pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan Ada’ Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan Tau Limayya (organisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.
Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’. Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real (12 real) atau 24 ohang. Denda ini jika dirupiahkan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan.
2.      Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Kayu pun yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.
Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama - tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Ammatoa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’. Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang, yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain itu, dikenal juga sanksi ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu gulung kain putih.
Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.
3.      Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan - aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang - wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini.
Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan). Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.
Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.
Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase - masea (kesederhanaan) dan ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat. Masyrakat Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa memelihara hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka.
Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya.  Dengan modal Pasang tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan.
Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan - kekuatan itu ada pada benda - benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan - kekuatan alam itu ada pada gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan - kekuatan yang ada di hutan.
Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya - upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari. Hal tersebut tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi - fungsi hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak semata - mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari, tapi untuk kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya.
Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara spritual dan ekonomi.
Dalam hutan adat, warga adat dilarang menanam dan memotong kayu di kawasan hutan adat. Karena diragukan pada suatu saat nanti mereka menebang pohon karena pohon itu adalah pohon yang ditanamnya di masa lalu.
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif "menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan - kegiatan upacara dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama dari Turie' A'ra'na (Tuhan YME) kepada Ammatoa (Tau Marioloa), yang menyatakan bahwa ekositem dunia (Lino) adalah sumber kehidupan yang menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi. Selanjutnya ada pasang lain yang mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai sumber hujan yang demikian besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang harus dijalankan oleh seluruh warga masyarakat Ammatoa.
Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebangan kayu di hutan secara terus menerus tanpa ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena itu, menurut pasang adalah tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto (lembaga yang khusus menangani hutan.
Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan, pertama harus disampaikan kepada Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan menyampaikan kepada Ammatoa. Setelah Ammatoa menganalisis kebutuhan masyarakat, maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo' bersama Galla Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan batasannya (Boronga Batasayya). Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan. Sebelum menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.
Pesan - pesan Suci Dari suci yang dipercaya masyarakat adat Tanah Toa Kajang, dan diyakini berasal dari Tau Rie’a A’ra’na (Pencipta Segala Sesuatu, Yang Maha Kekal dan Maha Mengetahui), yang diturunkan kepada manusia pertama yang disebut Ammatoa
Naparanakkang Juku
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang

Pesan-pesan itu memiliki arti
:

Ikan bersibak
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh

Masyarakat yang memiliki pesan-pesan suci untuk berbaur dengan alam dan menghargai alam. Masyarakat adat yang di banyak bagian negara ini sering terjepit dan menjadi anak tiri pertiwi. Inilah potret masyarakat kita, yang tentunya harus dihargai, bukan untuk dirusak.
Kearifan lokal masyarakat Kajang Ammatoa dalam mengelola hutan sangatlah baik. Tetap terpatri di dalam jiwa mereka untuk selalu menjaga dan melestarikan hutan karena hutan merupakan kekayaan alam yang dimilikinya dan merupakan pusat kebudayaan dimana adat Kajang Ammatoa berada. Tidak ada hasil hutan yang boleh diganggu karena di dalam hutan terdapat kekayaan yang merupakan penjaga berupa :
1.        Rotan
2.        Kayu
3.        Udang
4.        Lebah
(*Galla Pantama)
Untuk menjaga kelestarian hutan, maka Ammatoalah yang berperan dalam menghimbau kepada warganya untuk tidak melakukan penebangan dan perambahan hasil hutan. Mereka juga menyadari bahwa perambahan hutan merupakan cikal bakal kerusakan hutan dan pemanasan global.





B.     BENTANG SOSIAL
1.      Sekilas Tentang Desa Yang Diteliti
Kawasan adat Ammatoa terletak di Desa Tana Toa kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Warga kawasan adat Ammatoa yang secara   intensif berhubungan dengan dunia luar kawasan. Mereka adalah masyarakat adat yang bersekolah dan berkuliah di kota.
Persentuhan tersebut menimbulkan satu gendre pemahaman baru yang memberikan implikasi pada warga tersebut. Implikasi yang paling nyata adalah bahwa masyarakat yang keluar dari kawasan dalam jangka waktu tertentu dan kemudian ke kawasan adat akan membawa perangkat modernitas. Perangkat tersebut bukan hanya barang materil, melainkan juga pemahaman baru. Akibatnya, ada peniruan - peniruan dari masyarakat tersebut yang diaplikasikan dalam pola kehidupannya.
Meskipun begitu adanya, mereka masih tetap menghargai dan menjunjung tinggi nilai adat dan menjunjung tinggi Ammatoa sebagai pemangku adat.
  Lapisan masyarakat adat Ammatoa terdiri dari 3, yaitu :
1.      La’biria (dalam hal ini Kepala Kecamatan Kajang).
2.      Puto (gelar Ammatoa dan para pengikutnya).
3.      Puang (gelar untuk masyarakat adat Kajang Luar).
Ada hal yang sangat menarik di dalam kehidupan bertetangga dalam kawasan adat ini yaitu pada saat diadakannya acara adat misalnya Akkattere (memotong rambut), maka warga akan berdatangan dengan membawa Passolo’ (bingkisan) berupa beras, uang dll.

2.      Administrasi Wilayah
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia, koordinat geografisnya 5 ° 33 '0 "South, 120 ° 11' 0" Timur dan nama aslinya (dengan Diakritik) adalah Bulukumba). Lokasi Penelitian yaitu di “Kawasan Adat Ammatoa” yang bertempat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok yaitu suku Kajang Luar Dalam dan Suku Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam meliputi tujuh dusun di Desa Tana Toa. Pusat kegiatan komunitas suku Kajang Ammatoa berada di Suku Kajang Dalam tempatnya di dusun Benteng. Wilayah komunitas masyarakat adat kawasan hutan Tana Toa Kajang tersebut adalah :
a.       Kawasan Adat Dalam
Komunitas masyarakat adat Kajang dalam terbagi atas beberapa wilayah administrasi pemerintahan desa, antara lain :
-          Sebelah Selatan dengan nama Seppa.
-          Sebelah  Barat dengan nama Doro.
-          Sebelah Utara dengan nama Tuli.
-          Sebelah Timur dengan nama Limba.
b.      Kawasan Adat Luar
-          Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ujung Loe.
-          Sebelah  Barat berbatasan dengan Kecamatan Herlang.
-          Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sinjai.
-          Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bulukumpa.
(* Ir. Tamzil dkk).

Luas Hutan
Kawasan Hutan Tana Toa Kajang, berdasarkan Kepmenhut Nomor: 504/Kpts-II/1997 terdiri atas 331,17 ha. Kawasan hutan di Tana Toa Kajang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.
Luas kawasan hutan Tana Toa ini adalah 331,17 ha secara keseluruhan, baik yang termasuk wilayah Kajang dalam maupun Kajang luar. Dan dari 331,17 ha tersebut, sekitar 90 ha digunakan sebagai lahan pertanian tadah hujan. Tanaman yang dibudidayakan di atas lahan seluas itu cukup beragam, di antaranya padi, jagung, coklat, kopi, dan lain-lain. Luas Hutan Adat (Borong Karama’) yaitu ± 115 ha. Luas hutan adat tidak dapat diketahui pasti berapa luasnya, hal itu dikarenakan belum pernahnya diadakan pemetaan. Namun sekianlah menurut mantan kepala desa Desa Tana Toa, Abdul Kahar Muslim.

Struktrur Pemerintahan
Ammatoa sangat berpengaruh dalam aspek pemerintahan. Sosok Ammatoa yang ramah, tenang, berperawakan sedang, berkulit putih dan sorot mata yang tajam tapi bersahabat. Sayangnya, beliau tidak bisa di abadikan dalam beberapa kesempatan.
Selain sebagai pemimpin adat, Ammatoa bertugas sebagai penegak hukum dan membagi otoritas pemerintahan sebagaimana dipesankan dalam Pasang Ri Kajang. Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan - ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Otoritas pemerintahan sebagaimana yang ditetapkan dalam pasang :
Amma mana’ ada’ : Amma melahirkan adat
Amma mana’ karaeng : Amma melahirkan pemerintah

STRUKTUR LEMBAGA ADAT



Dengan strukturisasi tersebut, Ammatoa menempati pucuk pimpinan.
  1. Ammatoa sebagai pimpinan.
  2. Karaeng Tallu (Penasehat) yang meliputi : Karaeng La’biria (Karaeng Kajang : Camat Kajang), Sulehatang (Kepala Kelurahan), Moncong Buloa (Karaeng Tambangan).
3.      Ammatoa didampingi dua orang Anrong (ibu) masing - masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bungki. Anrongta ri Pangi bertugas melantik Ammatoa. Selain itu, dalam sistem politik tradisional yang berlaku di Kajang, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut sebagai Ada’ Lima Karaeng Tallu.
  1. Ada’ Limayya yang terbagi atas dua adat.
Pertama : Tana Lohea yang terdiri dari Galla Anjuruk, Galla Ganta, Galla Sangkala, Galla Sopa’ dan Galla Bantalang
Kedua : Tana Kekkesea yang memiliki beberapa tanggung jawab penting dalam masyarakat adat meliputi : Galla Lombo’ (memiliki tugas menerima tamu dan mengutus utusan untuk mengikuti upacara adat, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat nasional.  Posisi Galla Lombo’ selalu diisi oleh Kepala Desa Tana Toa). Galla Pantama (mengurusi masalah pertanian), Galla Kajang (mengurus masalah ritual), Galla Puto (bertindak sebagai juru bicara Ammatoa). Galla Malleleng (mengurusi masalah kebutuhan ikan untuk digunakan pada acara adat).
  1. Perangkat tambahan yang membantu tugas Ammatoa : Galla Jo’jolo, Galla Tu Toa Sangkala, Tu Toa Ganta’, Anrong Guru, Kadaha, Karaeng Pattongko’, Lompo Karaeng, Lompo Ada’, Loha, Kammula, Kali (Imam), dan Panre (Pandai Besi).
Strukturalisasi tersebut  jelas menunjukkan bahwa Ammatoa memiliki dua fungsi, yakni pemimpin adat dan pemerintahan. Namun dalam praktiknya, Ammatoa sekedar memiliki fungsi dalam aspek spiritual. Camat Kajang yang semestinya dilantik oleh Ammatoa kini tidak lagi. Bahkan sebaliknya, Camat Kajang yang semestinya.
Proses Pemilihan Ammatoa
Dalam pemimpinan adat di Kawasan Adat Ammatoa, ditunjuk seorang pimpinan yang disebut Ammatoa (pemimpin tertua), lalu di bawahnya ada pemangku adat lain sesuai dengan bidangnya masing - masing. Dalam pertemuan antara berbagai elemen itu, soal utama yang dibahas adalah munculnya dua Ammatoa. Saat itu ada dua orang yang mengaku menjadi Ammatoa, yaitu Puto Palasa dan Puto Bekkong.
Pertemuan dipandu oleh pemangku adat yang bergelar Galla, yaitu Galla Lombo’. Sebelumnya, ia menjelaskan mengenai aturan dalam pasang ri Kajang dalam proses pemilihan Ammatoa. Di sana dikatakan bahwa yang berhak mendapat gelar Ammatoa adalah yang sanggup melewati proses pengangkatan yang terdiri dari empat tahapan.
Dalam kesaksian salah satu pemangku adat, empat tahapan itu sudah dilalui oleh keduanya. Dalam proses itu Puto Palasa yang berhasil melalui empat tahapan. Sementara Puto Bekkong, tidak sampai mengikuti seluruh tahapan. Oleh karena itu, secara hukum adat Kajang, yang berhak menjabat Ammatoa adalah Puto Palasa yang usianya lebih muda dari Puto Bekkong. Dari hasil ini diputuskan bahwa Puto Palasa yang berhak menjadi Ammatoa.
Beberapa hari sebelumnya telah berlangsung pertemuan serupa, dihadiri para pemangku adat butta Kajang. Dengan disaksikan warga komunitas adat Kajang dan unsur pemerintah setempat, pertemuan tersebut berusaha mencari solusi dualisme Ammatoa.
Pertemuan itu berupaya membahas duduk perkara terjadinya dualisme dan mendamaikan dua kubu yang bersengketa, antara pihak Puto Bekkong dan Puto Palasa (keduanya merasa sebagai Ammatoa).
Akhirnya, setelah melewati urun rembug yang menyita waktu hampir enam jam, disepakati yang menjadi Ammatoa adalah Puto Bekkong. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pengakuan Anrongta ri Pangi, orang yang berhak melantik Ammatoa. Dalam pengakuannya, ia mengatakan:
Oh anakku ia ngngase irate nasaba maimmi kulanti Ammatoa siurang atorang riolo mariolo, iamintu i Puto Bekkong. Kuerai nupalekkoki nanutimbahoi, nasaba malla inakke allese riatorang riolo mariolo. Inakke tanggung jawa ri lino, sambenna ri allo ri boko saba tojeng nasiurang kalambusang, kupaingakko anak.Lambusukko   nu karaeng. Pissonaku nu guru.
Gattangko nu ada. Sabbarakko nusanro. Salama
kointu ri lino sambenna ri allo ri book Ako jamaii punna tania jamannu.
Artinya:
Hai anakku, berdasarkan aturan yang berlaku turun temurun, dengan ini sudah saya lantik yaitu Puto Bekkong sebagai Ammatoa. Saya tidak menyeleweng dari aturan nenek moyang kita. Saya bertanggung jawab di dunia dan akhirat atas apa yang sudah saya lakukan.
Saya ingatkan kamu anakku: Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama. Tegas pada aturan adat. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi. Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak. Jangan mengerjakan hal yang bukan pekerjaanmu.
***

3.  Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat adat Kajang Ammatoa berprofesi sebagai petani. Pada waktu - waktu tertentu, banyak masyarakat yang merantau ke luar kawasan adat.
Beberapa masyarakat bekerja sebagai sebagai petani dan kuli bangunan di kota Makassar dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. Aktiitas tersebut dilakukan untuk mengumpulkan uang menafkahi hidup keluarganya.
Dan sebagian lainnya tetap tinggal di dalam kawasan adat untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Berikut penggolongan mata pencaharian masyarakat adat Ammatoa.
1. Bercocok tanam/bertani : antara lain makanan pokok misalnya padi, jagung dan buah – buahan.
2. Beternak : adapun hewan yang diternakkan seperti ayam, kuda, sapi, kerbau dll.
3. Menenun : hasil tenunan berupa hasil industri rumah tangga berupa kain hitam untuk dijadikan baju le’leng (baju hitam), Tope (sarung hitam), Passapu (kain hitam yang dililit di kepala menjadi topi/songkok yang dikenakan oleh kaum laki - laki).
4.  Berdagang : jenis - jenis barang yang diperdagangkan antara lain dari hasil pertanian, hewan ternak dan hasil industri rumah tangga berupa hasil tenunan. Mereka berdagang di luar kawasan adat karena tidak terdapat pasar di dalam kawasan adat.

4.  Keadaan Pendidikan
                   Mayoritas masyarakat komunitas Ammatoa tidak memiliki pengalaman formal. Namun pada persoalan ajaran norma dan nilai - nilai, masyarakat adat Ammatoa mampu mengajarkan kearifan dan kesederhanaan yang disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Variabel tersebut dapat dijadikan sebagai optik untuk memandang adat Ammatoa dalam menentukan pilihan sikap terhadap keleluhuran ajaran adat Kajang.
                   Hanya saja keleluhuran aspek adat mulai terkikis dengan berbagai mistifikasi modern. Kronik paradigma modern yang membawa kesadaran baru dan menanggapi realitas kontekstual yang dihadapi komunitas Ammatoa.
                   Hanya sebagian kecil masyarakat di sana yang berkeinginan untuk menempuh pendidikan formal dan mereka menempuh pendidikan di luar kawasan adat karena tidak terdapat sekolah di dalam kawasan adat. Umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga SD hingga SMP. Dan sebagian lagi hingga SMA.
                   Sekolah SD dan SMP yang dibangun di dekat masjid di perbatasan kawsan Adat Kajang Dalam dengan Adat Kajang Luar sebelum pintu gerbang pada awalnya memicu konflik karena pemilik lahan tempat membangun sekolah tidak mendapat ganti rugi oleh pemerintah. Karena konflik itulah, maka sekolah tersebut disegel. Akan tetapi setelah dilakukan pendekatan yang baik, maka segel sekolah kembali dibuka oleh warga. Anak - anak dilarang bersekolah karena orang tua mereka menganggap apabila anak - anaknya sudah pintar, maka anak - anak mereka akan dibawa oleh bangsa Belanda. Dan setelah dilakukan pendekatan – pendekatan dan pengarahan akan pentingnya pendidikan, maka sebagian masyarakat adat Kajang Ammatoa mulai menyekolahkan anak - anak mereka di tingkat SD, SMP hingga SMA.
              Dan hanya sebagian kecil yang mengenyam pendidikan di tingkat Universitas. Sebut saja Ramlah (anak dari Ammatoa Puto Palasa) yang berkuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar dan mengambil jurusan Bahasa Inggris, dan tentu  saja berpengaruh pada modernisasi dan teknologi khususnya penggunaan telepon genggang (Handphone). Bahkan sudah ada warga yang menjadi seorang Insinyur Pertanian, akan tetapi mereka mengaplikasikan ilmu mereka di luar kawasan adat.
              Begitu pula dengan dibangunnya kelas jauh UVRI (Universitas Veteran Republik Indonesia) di kecamatan Kajang, maka sebagian warga adat Ammatoa berkuliah di sana. Intinya, mereka masih perlu himbauan untuk mengenal pendidikan. (*Muh. Sain/Staff Kecamatan Kajang).
              Persoalan yang sangat fatal yaitu transformasi ilmu yang kurang maksimal. Kearifan orang Kajang merupakan bentuk kekayaan kebudayaan yang sangat mulia karena mengedepankan keseimbangan terhadap alam. Bahkan pemerintah setempat yang turut bercermin kepada kearifan mereka di dalam melestarikan hutan. Kamase - mase sebagai prinsip hidup menjadi penanda identitas manusia kajang yang sederhana, harmonis, dan menegdepankan pemahaman trasendensi pada Turie’a A’ra’na dalam menentukan sikap adalah ajaran luhur. Masyarakat Kajang mengajarkan untuk memnafaatkan bahan alam secara berimbang dan sesuai kebutuhan. Demikian halnya dalam membuat perangkat keseharian, kesemuanya diaktualisasikan dengan sangat bijaksana dan sederhana.
              Ajaran Kamase - masea yang ada di komunitas adat Kajang merupakan warisan ilmu yang ditransformasikan secara turun - temurun. Persoalan transformasi ilmu nampak pada pemahaman akan prinsip ideal Kamase - masea yang dipahami secara serampangan terutama oleh kaum muda masyarakat Ammatoa. Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas kaum muda hanya sekedar memaknai Kamase - masea pada aspek permukaan semata. Artinya, Kamase - Masea sekedar ditafsirkan sebagai situasi miskin atau sederhana semata.
***






1 komentar:

  1. Data ini diambil pada awal tahun 2011 sebelum Pimpinan Adat Ammatoa Wafat. Bagi teman2 yang punya data baru, tolong share!
    Thanks.

    BalasHapus